Jujur, Siapa Takut ...!
Dalam sepekan terakhir, publik dikejutkan
dengan pengungkapan dugaan kecurangan dalam pelaksanaan ujian nasional (UN) SD
di SD Gadel II oleh salah seorang orangtua siswa yang bernama Siami. Jika kita mendengarkan
pengakuan anaknya, Alif Achmad Maulana dalam kasus contek-mencontek, sangat terlihat adanya langkah sistematis untuk
mengajarkan ketidakjujuran kepada anak didik. Saat itu, sudah diatur tata cara
untuk membagikan hasil jawaban kepada peserta ujian nasional. Bahkan ditetapkan
tempat bagi dilakukannya pertukaran jawaban.
Sebagai anak yang mengerti sesuatu yang tidak
benar, tentu saja Alif berontak. Hanya saja sebagai seorang murid ia tidak
berani untuk menolak perintah gurunya.
Di tengah rendahnya kejujuran pada bangsa ini,
seharusnya kita menjadikan kejadian Alif dan kedua orangtuanya Siami dan Widodo
sebagai simbol kejujuran. Siami hanyalah orang yang pendidikannya hanya sampai
Sekolah Menengah Pertama. Namun ia tahu tentang arti kejujuran. Ia tahu betul
bahwa kejujuran itu tidak bisa dikompromikan. Ia siap untuk menghadapi risiko
atas prinsip yang ia yakini itu.
Luar biasa apa yang dilakukan Siami dan
putranya Alif. Ia tidak goyah meski kemudian harus menghadapi tekanan dari
tetangganya. Ia memilih untuk mengungsi ke rumah orangtuanya di Gresik, ketika
tetangga di sekitarnya tidak bisa menerima sikap beliau tanpa komprominya.
Nilai yang baik ini seharusnya ditularkan ke
lebih banyak orang. Terutama para pemimpin negeri ini, bukan hanya memakai apa
yang dilakukan Siami dan keluarganya untuk kepentingan politik, tetapi
mengajarkan nilai-nilai kebaikan. Kita
percaya bahwa masih banyak Siami-Siami lain di negeri ini. Mereka hanya lebih
banyak diam dan tidak muncul ke permukaan. Mereka paham bahwa hidup ini tidak
cukup hanya sekadar diisi dengan segala sesuatu yang bersifat materialistis,
tetapi ada nilai lain yang bisa memberikan kebahagiaan yang jauh lebih besar
dibandingkan materi.
Bangsa ini merindukan kembali kehidupan yang
lebih beradab dan bermartabat. Kita rindu kembalinya nilai-nilai kehidupan yang
baik. Kita tidak hanya disandera oleh tujuan yang menghalalkan segala cara
untuk meraih kekayaan. Siami dan keluarga merupakan simbol dari sebuah
kejujuran.
Sebentar lagi kita akan memperingati Isra’ dan
Mi’raj yang jatuh pada tanggal 27 Rajab 1432 H atau bertepatan dengan tanggal
29 Juni 2011. Salah satu simbol dari perjalanan Isra’ Mi’raj adalah
kejujurannya Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Di dalam hadits di katakan : “Saat
Nabi SAW diisrakan ke Masjid al-Aqsha, subuhnya orang-orang membicarakan hal
itu. Maka sebagian orang murtad dari yang awalnya beriman dan membenarkan
beliau. Mereka memberitahukan hal itu kepada Abu Bakar radhiya`llahu anhu.
Mereka bertanya: "Apa pendapatmu tentang sahabatmu yang mengaku bahwasanya
dia diisrakan malam tadi ke Baitul Maqdis?" Dia (Abu Bakar) menjawab:
"Apakah ia berkata demikian?" Mereka berkata: Ya. Dia menjawab:
"Jika ia mengatakan itu, maka sungguh ia telah (berkata) jujur."
Mereka berkata: "Apakah engkau membenarkannya bahwasanya dia pergi malam
tadi ke Baitul Maqdis dan sudah pulang sebelum subuh?" Dia menjawab:
"Ya, sungguh aku membenarkannya (bahkan) yang lebih jauh dari itu. Aku
membenarkannya terhadap berita langit (yang datang) di waktu pagi maupun
sore." Maka karena hal itulah, Abu Bakar diberi nama ash-Shiddiq (orang
yang membenarkan).[1]
Abu Bakar sangat mengetahui Sifat Nabi Muhammad
sejak Nabi kecil. Bahwa Nabi adalah sosok yang tidak pernah berdusta,
berbohong, jujur dan dapat dipercaya, bahkan dari muda sudah mendapat gelar Al-Amin.
Kejujuran itu datang dari keimanan dan keyakinan
kepada Allah dan Rasul-Nya. Ketika peristiwa Isra’ dan Mi’raj, Nabi di
perlihatkan oleh Allah dengan di temani malaikat Jibril, sesuatu yang tadinya
abstrak, tidak nampak atau ghaib menurut Nabi Muhammad SAW, sesuatu itu
menjadi nyata setelah Nabi benar-benar melihat, diantaranya Nabi di perlihatkan
surga dan neraka.
Karenanya, setelah nabi turun ke dunia, Nabi
mengajak kepada ummatnya bahwa hal-hal yang dijanjikan Allah itu nyata adanya.
Semakin yakin seseorang akan adanya Allah, surga dan neraka maka semakin
bertakwa ia.
Keimanan dan Keyakinan atas keberadan Allah, surga,
neraka seharusnya menjadi fokus bagi pendidikan di Indonesia sekaligus jawaban
dari permasalahan pendidikan, jika menginginkan siswa – siswinya mempunyai
akhlak dan karakter yang kuat. Jika menginginkan siswa-siswinya jujur dalam
segala tindakan.
Jika seseorang menyakini adanya Allah, maka
tidak ada orang stress atau bunuh diri, karena ia yakin Allah ada. Ia akan
berdo’a dan meminta jalan keluar dari permasalahan hidupnya. Begitu juga tidak
ada orang korupsi, mencontek ketika ujian nasional, karena Ia yakin bahwa Allah ada, dan manusia
akan di bangkitkan dari alam kuburnya untuk dihisab dan setelah itu akan dimasukkan
ke dalam surga atau neraka tergantung dari amal yang ia kerjakan selama di
dunia.
Semakin yakin seseorang akan adanya Allah, maka
ia semakin bertakwa. ini harus menjadi ‘pandangan hidup’ bagi setiap Muslim. Takwa
adanya di dalam hati, hati merupakan inti dari manusia. Isra’ Mi’raj sangat
kuat kaitannya dengan hati dan keimanan.
Maka dari itu solusi yang harus dibenahi dalam
pendidikan di Indonesia ini adalah ‘penanaman keimanan’. Iman ialah rasa, bukan
pengertian. Tegasnya ialah rasa selalu melihat Allah atau dilihat Allah.
kondisi seperti ini tidak bisa diterangkan dan dipahami dengan akal yang ada
dikepala.
Pengajaran agama selama ini kebanyakan mengisi
pengertian. Hasilnya ialah murid mengerti bahwa Tuhan itu maha mengetahui,
tetapi mereka tetap saja berani berbohong dan berani mencontek. Siswa mengerti apa itu iman, tetapi mereka belum beriman.
Jadi, kunci pendidikan agama itu ialah agar siswa
beriman. Iman itu dihati bukan di kepala. berarti, membina hati, membina rasa
bertuhan merupakan pendidikan utama baik di sekolah maupun di rumah.
Mengapa pendidikan keimanan begitu sulit?
karena pendidiknya, yaitu guru dan orang tua, harus yang mula-mula memiliki
iman yang mantap, menyakini bahwa Allah itu ada, setelah itu barulah ia mampu
mendidik anak-anaknya.
Keberhasilan pendidikan akhlak ada pada
keberhasilan pendidikan keimanan. Dalam pelaksanaannya, orang tua dan guru merupakan pendidik utama.
Jika orang tua dan guru tidak berakhlak maka akan melahirkan generasi yang
tidak berakhlak pula. Tetapi jika orang tua atau guru berakhlak dan beriman,
memberikan motivasi agar tidak mencontek dan selalu bertawakkal kepada Allah
apa yang sudah diusahakan dan dipelajari sebelumnya, maka nanti akan lahir
generasi yang berakhlak, beriman dan tangguh dalam menghadapi cobaan hidup di
dunia ini.