Ilmu Mukasyafah
Secara
etomologi, mukasyafah berarti terbukanya tirai atau hijab.[1] Asal
katanya kasyafa, berarti tersingkap. Yang dimaksud terbukanya tirai di
sini adalah terbukanya rahasia segala rahasia dunia gaib secara mistik atau
supranatural. Rahasia-rahasia alam yang gelap dan tidak terjangkau oleh dunia
indrera bisa begitu terang di mata batin orang yang mendapat ilmu mukasyafah
ini.
Sementara
secara terminologi, ulama berbeda pendapat mengenai pengertiannya. Diantaranya
akan kita lihat seperti berikut ini, sebagaimana tercantum dalam kitab Sirajut
Tholibin.
Sebagian ulama
berpendapat bahwa ilmu mukasyafah adalah nur yang nyata di dalam hati ketika
hati itu berada dalam keadaan yang teramat bersih, terbebas dari segala
kotoran. Dalam keadaan hati yang teramat suci maka tampaklah di hati itu suatu
pengetahuan.
Apabila seorang
hamba telah dianugerahi ilmu mukasyafah, dan ilmu itu telah menghujam pada
dirinya, maka terbukalah tutup dari segala rahasia semesta sekaligus menjadi
tanda bahwa maqam spiritual orang tersebut telah berada sampai kepada hakikat.
Hal ini mengisyaratkan bahwa dengan ilmu mukasyafah semua apa yang sebelumnya
tersembunyi dan terselubung berubah menjadi nyata dan terang, tak ada lagi hal
yang bisa membuatnya terhalang dari dunia gaib.
Abu Hurairah RA
meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Apakah kalian melihat
kiblatku di sini? Demi Allah aku tidak terhalangi untuk melihat kekhusyukan dan
ruku kalian (dari tempatku shalat ini). Aku benar-benar melihat kalian di
belakang punggungku". (HR. Bukhari dan Muslim).
Mengenai
penjelasan hadist diatas Ibn Hajar berkata, "Yang benar adalah
bahwa hadist ini diartikan sesuai dengan makna harfiahnya. Artinya
"melihat" dalam hadist di atas adalah "melihat" secara
hakiki yang khusus bagi beliau di mana penglihatan tersebut sangat beda dari
penglihatan umumnya."
Sementara itu
DR. 'Abdul Fattah Ahmad menjelaskan bahwa mukasyafah mempunyai dua pengertian :
1.
Mukasyafah
adalah keadaan di mana rohani menjadi bersih dan jernih, yang hanya dapat
dicapai oleh manusia-manusia yang benar-benar beriman lagi sholeh sehingga
tersingkap baginya hal-hal gaib yang memang tidak bisa dilihat dengan mata
indera biasa. Ini merupakan maqam spiritual yang penuh dengan kemuliaan dari
Allah SWT.
2.
Mukasyafah
adalah suatu keadaan jernih yang dicapai oleh hati. Karena kerjernihan itu,
Allah SWT membuka salah satu rahasia kegaiban. Mukasyafah termasuk bagian dari
karamah yang diyakini oleh kaum muslimin dan ahlussunnah.
Ini merupakan bukti kewalian, jika terjadi pada orang saleh yang berpegang
teguh pada Al-Qur'an dan Sunnah.
Menurut Abdul
Fattah, keadaan ini tidak terjadi terus menerus, akan tetapi terkadang muncul,
dan terkadang tidak. Dalam artian, ilmu ini tidak lantas secara konsisten
melekat pada satu orang secara terus-menerus, akan tetapi sifatnya temporer dan
sementara. Dalam kondisi spiritual yang jernih seseorang berpeluang untuk mengalami
ketersingkapan atau kasyaf, tapi jika kondisi spiritualnya sedang terpuruk
orang tersebut tentu tidak akan merasakannya.
Menurut
Al-Ghazali, ilmu mukasyafah ini hanya bisa diperoleh melalui Nur Illahi.
Al-Ghazali berpendapat bahwa mukasyafah merupakan tingkatan ilmu yang paripurna
dan menduduki level atas dalam deretan pengetahuan lain mampu dicapai manusia.
Al-Ghazali menyebutkan ilmu ini sebagai fauqa thuril 'aqli,
ilmu yang berada di puncak atas akal atau melampaui kekuatan pengetahuan yang
berada dalam taraf yang dapat dijangkau
akal manusia.
Ilmu mukasyafah
terbagi menjadi dua macam :
1.
Mukasyafah
Rubbiyah. Merupakan pengalaman keteringkapan berupa
terbukanya tirai yang sifatnya ke Tuhanan. Pada jenis ini seorang hamba telah
dibukakan oleh Allah sendiri tirai dan hijab yang bagi orang awam tertutup.
Saat itu seorang hamba mampu mengetahui rahasia-rahasia Al-Haq, bahkan pada
puncaknya seorang hamba akan mampu melihat-Nya. Dalam Tafsir Al-Qurthubi
disebutkan, "Maka terbukalah hijab atau tutup, lalu mereka melihat
kepadaNya. Demi Allah tidak pernah memberikan kepada mereka sesuatu yang amat
menyenangkan mereka kecuali penglihatan itu (Mukasyafah)".
2.
Mukasyafah
Ghaibiyah. Yang berarti
tirai kegaiban. Mukasyafah ini sebenarnya tidak mempunyai kaitan dengan
mukasyafah rubbiyah, karena bukan merupakan anugerah suci yang merupakan rahmat
bagi orang-orang sholeh. Jenis mukasyafat ini lebih kepada persoalan bakat
sebenarnya. Berdasarkan kenyataan, banyak sekali orang yang merasakan
pengalaman mistik atau hal gaib, tapi sebelumnya dia telah melakukan usaha (riyadhah)
untuk mengarah ketajaman bakatnya itu.
Sementara itu DR. Abdul Fatah menjelaskan bahwa
ilmu dalam sudut pandang syari'at pada dasarnya terdiri dari :
1.
Informasi
adalah sesuatu yang berkenaan dengan apa yang telah tercakup dalam Islam,
sesuai dengan petunjuk yang ada dalam Al-Qur'an dan Al-Hadist. Ruang lingkup
informasi mencakup seluruh apa yang dikabarkan oleh keduanya. Informasi
mencakup seluruh apa yang dikabarkan oleh keduanya. Informasi yang dapat kita
peroleh dari tuhan melalui Al-Qur'an, secara garis besar terdiri dari
pengetahuan akan Tuhan, para malaikat, para nabi, dan para rasul, kitab-kitab
suci, hari kiamat, takdir, tentang kebaikan dan keburukan, di samping juga
pengetahuan-pengetahuan lainnya. Sedangkan dalam Al-Hadist dapat kita peroleh
informasi tentang bagaimana tata cara menjadi muslim yang baik, secara umum
telah diperjelas dalam syari'at.
2.
Peraturan
adalah sesuatu yang berkenaan dngan segala larangan Allah SWT yang berkaitan
dengan seluruh dimensi kehidupan manusia. Disini juga telah banyak diperjelas
oleh syari'at. Maka peraturan menjadi suatu landasan yang kedua sebagai
amal.
Sebagaimana
Nabi Musa AS setelah dibuka tirai yang menutupi pandangannya terhadap segala
hal yang diperbuat oleh Nabi Khidir AS, berarti juga ia telah mengetahui
berbagai ilmu yang belum ia ketahui sebelumnya. Hal itu merupakan suatu contoh
kecuali suatu bentuk dari "informasi". Kemudian yang menjadi tugas
Nabi Musa AS setelah menguasai beberapa ilmu tersebut ialah bagaimana
mengamalkannya. Dan itulah yang disebut peraturan. Peraturan seseorang yang
telah memperoleh ilmu yang kemudian berproses untuk mengamalkannya. Contoh ini
merupakan bagian dari bentuk hubungan antara ilmu dan amal bagi penuntut ilmu.
Nabi Musa AS
telah merasakan ilmu mukasyafah atau ilmu laduni yang diperoleh dari Nabi
Khidir AS. Ilmu mukasyafah merupakan bentuk dan terobati hasrat. Menurut Abdul
Fatah, ilmu mukasyafah dapat memberikan suatu pemahaman yang dalam, kejernihan
penglihatan, kepastian, dan sebagainya, yang berkaitan dengan pokok-pokok
ajaran agama Islam maupun cabang-cabangnya. Namun Ilmu mukasyafah tidak dapat
meberikan sesuatu pun terhadap amal kecuali pemahaman.
Tidak ada
seorang pun yang telah mengalami mukasyafah menyatakan sesuatu yang saling
bertentangan tanpa mampu membuktikan bahwa dirinya telah tersesat. Seperti Nabi
Musa AS yang merasa bahwa ia telah bersalah terhadap segala yang dilakukan Nabi
Khidir AS, akibat perbuatan ganjilnya yang menurut pandangan Nabi Musa AS, agama
tidak pernah membenarkannya.
Dalam
kesimpulannya mengenal ilmu mukasyafah atau ilmu laduni tentang keilmuan Nabi
Khidir AS, Adul Fattah menjelaskan, "Pandangan tentang mukasyafah
ataupun laduni hanya sebatas pada suatu hal di mana manusia tidak lagi bodoh
tentang yang sebelumnya tidak ia ketahui. Mukasyafah dalam hal ini dapat
diartikan sebagai ilmu".
Syekh Ahmad
Ibnu Athaillah mengemukakan pendapatnya
yaitu terkadang seseorang diberikan oleh Allah Swt sebuah keistimewaan walaupun
orang tersebut istiqomah atau keyakinannya kepada Allah belum menuju
kesempurnaan. Bahkan menurut pendapat yg lain bahwa musyahadah lebih
dahulu, barulah mukasyafah, sehingga dari pendapat yg terakhirlah mayoritas
ulama sufi berpendapat.
Ilmu dan amal
bergantung pada bagaimana ilmu mukasyafah atau laduni itu di jalankan dengan
baik. Tetapi manusia akan selalu dihadapkan berbagai ujian sehingga tugas
mengamalkan dan menjalankannya dapat teratasi dengan sempurna bila manusia
tersebut dapat melalui ujian tersebut dengan hati yang ikhlas dan pemikiran
yang jernih dalam segala hal. Agar manusia tersebut selalu bersih hati dan
pikirannya dan dapat menikmati ilmu mukasyafah tersebut".
Kelompok sufi
menilai ilmu mukasyafah Nabi Khidir AS yang bersumber dari maqam yang lebih tinggi
dari syari'at. Sementara ulama tradisional menilai tidak ada yang lebih utama
di antara keduanya. Antara maqam hakikat Nabi Khidir AS dan Syari'at Nabi Musa
AS sama.
Para ulama yang
yang mendukung kesetaraan antara kedua ilmu tersebut beralasan, tidak dapat
dibenarkan bahwa Nabi Khidir AS mempunyai status untuk mengklaim keunggulan
orang-orang syari'at dan ilmu-ilmu syari'at. Justru Nabi Khidir AS di utus oleh
Allah SWT untuk mengajar Nabi Musa AS yang mengaku dirinya paling berilmu di
atas permukaan bumi.
Ketika Nabi
Musa AS ditanya tentang siapa orang yang paling berilmu,sepatutnya beliau
mengatakan bahwa Allah SWT itulah Yang Maha Mengetahui tentang segala-galanya.
Oleh karena itu, Allah SWT langsung mengatakan kepada Nabi Musa AS bahwa di sna
ada seorang hamba Allah yang tidak dikenalinya yang memperoleh ilmu langsung
dari Allah SWT , sebagai teguran langsung dari Allah SWT kepada Nabi Musa
AS.
Belum sempurna
iman seseorang jika hanya melakukan ritual peribadatan tanpa kita mengetahui
makna, esensi, seta hakikat dari perbuatan itu. Maka para sufi
kemudian mencari makna-makna itu lewat jalan yang tidak terdapat dalam sistem
hukum syari'ah, yaitu jalan yang hakikat.
Memang penting
kiranya untuk dicatat bahwa hukum Islam dan jalan sufi adalah dua hal yang
sama-sama baik, akrena pengetahuan serta pengalaman yang tinggi darinya akan
menciptakan pencerahan lahir batin manusia dan tentu saja hal itu menjadi
lentera bagi manusia, sehingga ia tahu yang mana ujian dan cobaan yang datang
dari Allah SWT serta mana godaan setan yang terkutuk. Hanya manusia tidak biasa
melakukan keduanya secara sekaligus, maka tidaklah bijak, jika manusia
meninggalkan salah satu dari ilmu-ilmu yang tengah di tempuhnya. Bahwa dua
kecondongan nilai-nilai Islam ini dapat disatu padukan dalam diri manusia,
sehingga menciptakan hadirnya kearifan yang lebih agung.
Ilmu Mukasyafah
adalah jalan menuju akhirat yang harus memisahkan dari sifat-sifat yang keji
dan yang tercela, yaitu tentang keselamatan hati atau jiwa. Sedangkan Ilmu
mu'amalah adalah membahas tentang keselamatan badan. Ilmu muamalah disifatkan dhahir
sedangkan ilmu mukasyafah disifatkan bathin. Yang semuanya itu berserikat,
artinya saling tolong menolong. Kekuatan badan untuk beribadah, sedangkan
kekuatan hati untuk berdzikir kepada Allah SWT.
Sifat badan
adalah mengurusi pakaian, serta membutuhkan makan dan minum sedangkan sifat ruh
adalah membutuhkan dzikir dan ibadah. Maka, Ilmu Muamalah diartikan atau
diibaratkan seperti dokter yang mempunyai tanggung jawab untuk urusan menyehatkan
badan, sedangkan Ilmu Bathin adalah yang menguasai hati dan menjauhkan
sifat-sifat yang keji dan tercela misalnya iri, dengki, pemarah, riya', ujub,
sombong, takabur, hasud, sifat tercela tersebut harus dibersihkan.
Untuk
mendapatkan ilmu mukasyafah, maka hati ini adalah imam atau raja dan hati itu adalah kendaraan atau jalan
pertama untuk mendapatkan ilmu rahasia. Maka seluruh anggota tubuh itu
digerakkan dengan hati. Dengan kehalusan, kepekaan, dan ketelitian hati
menggerakan seluruh anggota tubuh untuk ibadah kepada Allah. Jadi yang
menyebabkan malas itu karena karena hawa nafsu, yang menyebabkan ingkar dan
menjauh dari Tuhannya itu juga nafsu. Karena hatinya sudah dipenuhi dengan nuftah
(noda). Noda itu adalah bagian dari perbuatan dosa. Ini yang menghalangi untuk
sampai kepada Tuhannya, sehingga jiwa dan pikirannya sempit, pandangannya
sempit, hatinya sempit, sampai rezeqinya sempit, pemahaman tentang ilmu juga
sempit karena terhalang oleh dosa-dosa. Kalau diibaratkan dengan kendaraan yang
rusak, tidak bisa berjalan. Itu sama dengan hati yang rusak, maka tidak akan
sampai pada tujuan, dan selalu menunda waktu dan menunda hidup untuk kebaikan
karena hatinya rusak, akhirnya tidak sampai kepada cita-citanya.
[1] Hijab ada sepuluh macam: 1. Hijab
peniadaan dan penafian hakikat asma' serta sifat. Ini merupakan hijab yang
paling tebal. Orang yang memiliki hijab ini tidak mempunyai kesiapan untuk
mengetahui Allah dan sama sekali tidak sampai kepada Allah, sebagaimana batu
yang tidak bisa naik ke atas. 2. Hijab syirik, yaitu membuat hati menyembah
kepada selain Allah. 3. Hijab bid'ah yang bersifat perkataan, seperti hijab
orang-orang yang mengikuti hawa nafsu dan berbagai macam perkataan yang batil
lagi rusak. 4. Hijab bid'ah yang bersifap ilmiah, seperti hijab para ahli
thariqah yang melakukan bid'ah dalam perjalanannya kepada Allah. 5. Hijab
orang-orang yang melakukan dosa besar secara batinnya, seperti hijab
orang-orang yang takabur, ujub, riya', dengki, membanggakan diri dan lain
sebagainya. 6. Hijab orang-orang yang melakukan dosa besar secara zhahir. Hijab
mereka lebih tipis daripada hijab orang-orang yang melakukan dosa besar secara
batin, sekalipun mereka lebih banyak ibadahnya dan lebih zuhud. Dosa besar
secara zhahir lebih dekat kepada taubat daripada dosa besar secara batin. Orang
yang melakukan dosa besar secara zhahir lebih bisa diselamatkan dan hatinya
lebih baik daripada orang yang melakukan dosa besar secara batin. 7. Hijab
orang-orang yang melakukan dosa-dosa kecil. 8. Hijab orang-orang yang
berlebih-lebihan dalam hal-hal yang mubah. 9. Hijab orang-orang yang lalai
melakukan tujuan penciptaannya dan yang dikehendaki dari dirinya, tidak
senantiasa berdzikir, bersyukur dan beribadah kepada Allah. 10. Hijab
orang-orang yang berijtihad namun menyimpang dari tujuan.