Mengendalikan Nafsu

Alhamdulillah Allah masih memberikan kita umur yang panjang sehingga kita masih ditakdirkan Allah untuk berpuasa di bulan Ramadhan ini. Semoga Allah memberikan keberkahan bulan Rajab, bulan Sya’ban dan bulan Ramadhan.

Bulan Ramadhan adalah bulan yang selalu dinanti-nantikan kehadirannya oleh Rasulullah Saw, para shahabat dan orang-orang Sholih. Kenapa demikian, karena setiap perbuatan baik yang kita lakukan dibulan Ramadhan ini, pahalanya dilipatgandakan oleh Allah Swt.

Allah telah menetapkan tempat dan waktu, jika kita melakukan amal kebaikan Allah akan lipatkan pahala kebaikannya. Tempat itu adalah Makkah al-Mukarramah dan Madinah Munawwaroh.  Kemudian Allah menetapkan waktu, satu bulan dalam satu tahun, dimana di bulan tersebut Allah melipat gandakan semua kebaikan yang dikerjakan. Bulan itu adalah bulan suci Ramadhan.

مَنْ تَقَرَّبَ فِيْهِ بِخَصْلَةٍ مِنَ الخَيْرِ كَمَنْ أَدَّى فَرِيْضَةً فِيْمَا سِوَاهُ. وَمَنْ أَدَّى فَرِيْضَةً فِيْهِ كاَنَ كَمَنْ أَدَّى سَبْعِيْنَ فَرِيْضَةً فِيْمَا سِوَاهُ.

“Siapa saja yang mendekatkan diri kepada Allah Swt dengan suatu kebajikan di bulan Ramadhan, maka nilainya seperti menunaikan suatu perbuatan fardhu di lain Ramadhan. Dan siapa menunaikan suatu perbuatan fardhu di bulan Ramadhan, maka nilainya tujuh puluh kali lipat daripada nilai ibadah fardhu di bulan-bulan Ramadhan”. (HR. Ibnu Khuzaimah).

Maka dari itu Rasulullah, para shahabat, dan orang-orang shalih mengharapkan agar dipertemukan kembali dengan bulan Ramadhan. Mereka mempersiapkan jauh-jauh hari sebelumnya sebagaimana Jama’ah haji/umroh yang akan berangkat ke tanah suci mempersiapkan segalanya baik jasmani maupun rohani. Sehingga ketika mereka sampai ke Makkah, mereka dapat beribadah dengan sebaik-baiknya ibadah.

Karena Allah Swt hanya akan menerima sesuatu yang terbaik yang persembahkan dan dikerjakan oleh hamba-Nya. Mungkin masih ingat cerita Qabil dan Habil putra Adam As. Dimana Allah Swt menerima yang di persembahkan Habil daripada Qabil, karena Habil mempersembahkan dengan sesuatu  yang terbaik yang ia miliki kepada Allah Swt.

Setiap datang bulan Ramadhan, para shahabat dengan sekuat tenaga meningkatkan kuantitas dan kualitas ibadah mereka agar ibadah mereka diterima disisi Allah Swt.  Begitu juga jama’ah haji/umroh yang sedang melaksanakan ibadah di Mekkah, mereka akan beribadah semaksimal mungkin, karena mereka sadar, bahwa kemungkinan besar itu adalah haji/umroh yang terakhir bagi mereka. Maka dari itu, ketika melakukan thawaf wada/ thawaf perpisahan, pasti mereka menangis, mereka membayangkan kerinduan yang dalam jika mereka harus terpisah jauh dari rumah Allah Swt.

Begitu juga dengan Ramadhan, kepergiannya tidak diharapkan bagi orang-orang sholeh, bagi para shahabat, bagi Rasulullah Saw. Karena mereka tau betapa besarnya pahala yg mereka akan dapatkan, betapa besarnya rahmat dan magfiroh yang Allah akan berikan, dan betapa banyaknya Allah akan membebaskan ummatnya dari api neraka. Maka dari itu Rasulullah Saw bersabda:

لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِيْ رَمَضَانَ لَتَمَنَّى أَنْ تَكُوْنَ الشُّهُوْرُ كُلَّهَا رَمَضَانَ

"Andaikan ummatku tahu apa yang tersembunyi dalam bulan Ramadhan, niscaya mereka akan mengharapkan seluruh bulan dalam setahun menjadi bulan Ramadhan".

Memang ketika Ramadhan tiba, pintu surga dibuka, dan pintu neraka ditutup, setan pun diikat. Sebagaimana Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra, Rasulullah Saw bersabda:

إذَا كَانَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الرَّحْمَةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ جَهَنَّمَ وَسُلْسِلَتِ الشَّيَاطِينُ

“Jika masuk bulan Ramadhan, pintu-pintu rahmat dibukan, pintu-pintu Jahannam ditutup dan setan-setan pun diikat dengan rantai.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Namun kenapa maksiat masih terjadi di bulan Ramadhan?. Karena di dalam diri manusia ini ada An-nafsu. Sebagaimana kita ketahui bahwa ada lima unsur di dalam diri manusia yaitu  Al-Jismu (jasmani), Al-Nafsu, Al-Aql (Akal), Al-Qolbu dan Ar-Ruh.

An-Nafsu ini lah yang membedakan manusia dengan malaikat. Nafsu ini karakternya seperti binatang suka makan, minum, tidur, berkembang biak dan lain sebagainya. Ada juga karakter bintang buas seperti marah, emosi, sombong, suka memangsa dan lain sebaginya.

Nafsu manusia yang belum bisa dikendalikan inilah yang masih suka mengajak kepada maksiat dan keburukan. Maka An-nafsu menurut Imam Al-Ghazali bertingkat-tingkat: Tingkatan yang pertama adalah an-nafs al-'ammarah. Allah swt berfirman:

إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلاَّ مَا رَحِمَ رَبِّي إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ  

nafsu itu selalu menyuruh kepada keburukan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku,” (QS Yusuf [12]: 53).

Nafsu ammarah ini adalah nafsu yang masih memerintahkan kepada keburukan dan masih menjadi bala tentara setan untuk mengarahkan manusia kepada kebinasaan. Karenanya, nafsu ammarah ini harus diperangi. Namun, memeranginya lebih berat daripada memerangi musuh yang kasat mata, Rasulullah Saw pernah bersabda sepulangnya dari peperangan: 

رجعنا مِنَ الْجِهَادِ الْأَصْغَرِ إِلَى الْجِهَادِ الْأَكْبَرِ. قَالُوا: وَمَا الْجِهَادُ الْأَكْبَرُ؟ قَالَ: مُجَاهَدَةُ الْعَبْدِ هَوَاهُ  

 “kalian datang dari jihad kecil menuju jihad besar.” Mereka (para shahabat) bertanya: “Apakah jihad besar itu?” Beliau bersabda: Mujahadahnya seorang hamba terhadap hawa nafsunya. (HR. Al Baihaqi)

Kalau nafsu sudah mulai bisa di kendalikan namanya Nafsu Lawwamah, Allah Swt berfirman:

لَا أُقْسِمُ بِيَوْمِ الْقِيَامَةِ ، وَلَا أُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ

Aku bersumpah demi hari kiamat, dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (nafsunya sendiri), (QS. Al-Qiyamah [75]: 1-2).

 Cuma nafsu lawwamah masih suka berubah-rubah. Terkadang ia taat, kadang maksiat, kadang ia rajin ibadah, kadang malas. Kalau sudah tidak berubah-rubah lagi namanya an-nafs al-mutmainnah atau nafsu yang tenang, nafsu yang sudah jinak.  Allah swt berfirman:

يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّة 

“Hai nafsu yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha lagi diridhai-Nya,” (QS. al-Fajr [89]: 27-28).

Nafs muthmainnah ini sudah tidak memerintahkan lagi kepada keburukan seperti nafs ammarah dan sudah tidak berubah-rubah keadaanya seperti nafs lawwamah. Nafs Muthmainnah ini tenang mengingat Allah, rindu berjumpa dengan-Nya. Ridha terhadap takdir Allah dan ikhlas dalam menjalankan perintah-Nya.  

Nafsu itu harus dikendalikan, bukan dibunuh atau dihilangkan. Sebab nafsu adalah fitrah manusia, pemberian dari Sang Maha Pencipta. Karena nafsu, manusia dapat berkembang, baik berkembang kuantitasnya maupun berkembang kualitasnya. Nafsu itu bagaikan api. Kita sangat membutuhkan api. Dalam kehidupan kita tidak lepas dari peranan api. Untuk memasak, mengolah makanan, dan lain sebagainya. Jadi yang dibutuhkan oleh kita adalah api yang terkendali. Tapi, bila tidak terkendali, maka ia akan membakar apa saja yang ada di sisinya.

Ibadah puasa ini adalah salah satu bentuk pengendalian nafsu agar nafsu kita menjadi nafsu yang bisa memberikan manfaat dan menjadi nafsu yang muthmainnah. Semoga Nafsu kita setelah Ramadhan menjadi Nafsu Mutmainnah. Amin Ya Rabbal Alamin.

 

Postingan populer dari blog ini

Kun Ma'allah

Sejarah Dzikrul Ghofilin

CERAMAH HAUL DAN KEHARUSAN BERGURU