Shalat Khusyu

 

Diantara perkara yang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berlindung darinya, beliau berlindung daripada hati yang tidak khusyu’. Beliau berdoa:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لَا يَنْفَعُ، وَمِنْ قَلْبٍ لَا يَخْشَعُ

“Ya Allah aku berlindung kepada Engkau dari ilmu yang tidak bermanfaat dan dari hati yang tidak pernah bisa khusyu’.”

Ketika kita shalat, kita tidak bisa khusyu’, pikiran kita entah pergi kemana. Demikian pula ketika kita beribadah, kita tidak bisa fokus, tidak bisa kita khusyu’, sehingga pada waktu itu kekhusyuan sudah tidak ada lagi di hati-hati kita yang berakibat ibadah kita pun kemudian berkurang pahalanya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Padahal saudaraku, disyariatkannya ibadah tiada lain adalah untuk kebaikan hati. Ketika ibadah tidak mempengaruhi hati, ibadah itu sama sekali tidak bernilai di mata Allah atau berkurang pahalanya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Ketika seseorang membaca Al-Qur’an dan hatinya tidak khusyu’, maka Al-Qur’an itu tidak berpengaruh ke hatinya. Ketika seseorang shalat dan hatinya tidak khusyu’, shalat pun tidak berpengaruh kepada hatinya. Sementara Imam Ahmad pernah ditanya: “Apa amal yang paling utama di sisi Allah?” Maka Iman Ahmad berkata: “Lihatlah ibadah yang paling benar-benar terasa di hatimu, maka itulah yang paling utama.”

Ketika kita shalat penuh kekhusyu’an, kita benar-benar merasa takut kepada Allah di saat shalat kita dan kita berusaha untuk merasakan kenikmatan shalat itu, maka shalat itu benar-benar akan benar-benar mempengaruhi hati kita. Maka disaat itulah shalat akan memberikan kepada kita kekuatan untuk meninggalkan perkara yang keji dan mungkar. Allah berfirman:

إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ

“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.” (QS. Al-Ankabut[29]: 45)

 

Ketika seorang khusyu’ di dalam shalatnya, dia pasti akan merasakan kenikmatan dalam shalat. Maka disaat itu ia akan merasa asyik bermunajat kepada Allah, disaat itu dia akan merasa suka untuk berlama-lama berduaan dengan Allah. Makanya lihat bagaimana shalatnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau shalat malam:

حَتَّى انْتَفَخَتْ قَدَمَاهُ

“Sampai kakinya itu bengkak.”

Ketika ditanya oleh ‘Aisyah: “Kenapa engkau lakukan hai Rasulullah? Sementara Allah telah mengampuni dosa-dosamu yang dahulu maupun yang akan datang.” Kata Rasulullah:

 

أَفَلاَ أَكُونُ عَبْدًا شَكُورًا

 

“Tidak bolehkah aku menjadi hamba yang bersyukur?” (HR. Muslim)

 

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam justru merasakan kenikmatan luar biasa itu di dalam shalat. Sampai-sampai Rasulullah bersabda kepada Bilal:

 

يَا بِلَالُ ، أَرِحْنَا بِالصَّلَاةِ

 

“Wahai Bilal, jadikan kita tentram dengan shalat.” (HR. Ahmad)

 

Dan dalam riwayat Abu Dawud disebutkan:

 

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا حَزَبَهُ أَمْرٌ صَلَّى

 

“Bila Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ditimpa sesuatu yang sulit dalam hidupnya, segera beliau shalat menghadap Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (HR. Abu Dawud)

 

Sementara ketika kita kehilangan khusyu’, shalatnya pun tidak akan terasa nikmat di hati kita, saudaraku. Barangkali shalat itu bahkan menjadi beban dalam hidup kita. Kita lihat ada orang ketika shalat, dia bagaimana caranya segera selesai dari shalat. Sehingga kita lihat shalatnya sangat cepat sekali, bahkan tidak tuma’ninah, maka bagaimana akan Allah terima shalat seperti ini?

 

Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melihat ada orang yang shalat dengan cepatnya. Setelah selesai shalat ia datang kepada Rasulullah dan berkata: “Assalamualaikum Ya Rasulullah.” Lalu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab salamnya dan berkata:

 

ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ

 

“Kembalilah kamu shalat lagi, kamu belum shalat.”

 

Lalu kemudian ia shalat lagi dengan cepatnya, setelah ia datang lagi ke Rasulullah, lalu Rasulullah bersabda: “Kembali kamu shalat, kamu belum shalat.” Ia pun shalat lagi dengan cepatnya kemudian kembali lagi kepada Rasulullah. Lalu Rasulullah bersabda lagi: “Kembali kamu shalat, kamu belum shalat.” Rupanya orang ini tidak melakukan tuma’ninah dalam shalatnya.

Maka saudarakau, kekhusyu’an dalam shalat itu merupakan intisari daripada shalat. Ketika kita khusyu’ dalam shalat kita dan dalam ibadah kita, itulah yang akan mempengaruhi hati kita, itulah yang akan memberikan kepada kita kekuatan di dalam shalat kita, bahkan dalam kehidupan kita.

 

Ketika seroagn hamba merasakan kenikmatan dalam shalatnya dan dalam ibadahnya, maka tidak ada sesuatu yang lebih lezat bagi dia daripada ibadah dan bermunajat kepada Allah Jalla wa ‘Ala.

 

Ketika ia dzikir lalu ia khusyu’ dalam dzikirnya, dia ucapkan Subhanallah dan benar-benar terasa di hatinya. Dia ucapkan Alhamdulillah dan benar-benar terasa di hatinya. Dia merenungkan tentang kebesaran penciptanya, disitulah dzikir itu menjadi besar pahalanya disisi Allah Jalla wa ‘Ala. Disitulah akan muncul ketakwaan hati, sebagaimana Allah berfirman:

 

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ ﴿٢١﴾

 

“Wahai manusia, beribadahlah kamu kepada Rabbmu yang telah menciptakan kamu dan menciptakan orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah[2]: 21)

 

Allah mengatakan bahwa ibadah itu tujuannya untuk menghasilkan ketakwaan. Berarti ibadah yang tidak menghasilkan ketakwaan, itu tanda ibadah itu belum diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah berfirman:

 

… إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّـهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ ﴿٢٧﴾

 

“Allah hanyalah menerima dari orang-orang bertakwa saja.” (QS. Al-Maidah[5]: 27)

 

Maka bagaimana akan diterima shalat orang yang tidak khusyu’ shalatnya? Sementara dia ingin cepat-cepat dan tergesa-gesa dalam shalatnya. Seakan-akan shalat itu beban dalam hidupnya.

 

Saudaraku, jadikanlah shalat sebagai kebutuhan hidup kita, jadikan ibadah sebagai kebutuhan hidup kita. Dan tidak mungkin kita merasakan kelezatan kecuali dengan cara khusyu’ di hati kita.

 

 

Lalu bagaimana supaya hati kita bisa khusyu’? Sesungguhnya kata para ulama, kekhusyu’an mengikuti pengenalan kita kepada Allah. Semakin kita kenal Allah, lalu tumbuh rasa takut kepada Allah, tumbuh rasa cinta kepada Allah dan berharap kepadaNya, maka disaat itulah kekhusyu’an pun semakin kuat di hati seorang hamba.

 

Semakin seorang hamba kurang rasa takutnya kepada Allah, kurang cintanya kepada Allah dan kurang pula berharapnya kepada Allah, maka semakin khusyu’nya pun berkurang di hatinya. Maka kekhusyu’an itu muncul dari pengenalan kita kepada Allah Jalla wa ‘Ala.

 

Oleh karena itulah Allah memperkenalkan diriNya dalam Al-Qur’an dalam ayat-ayat yang sangat banyak sekali, terutama diayat kursi. Allah Subhanahu wa Ta’ala memperkenalkan dalam surat Al-Ikhlas, Allah memperkenalkan dirinya di dalam surat Al-Hadid, demikian pula dalam surat Al-Hasyr dan yang lainnya. Cobalah kita pelajari dan kita renungan lalu kita kenali siapa Rabb kita, siapa Allah Jalla wa ‘Ala. Supaya tumbuh di hati kita rasa takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

 

Maka saudarakau.. Ketika kita kenal bahwa Allah Maha Besar, muncullah pembesaran di hati kita kepada Allah Jalla wa ‘Ala. Sehingga tidak ada yang lebih besar di hati kita kecuali Allah. Maka disaat itu pasti kita bisa khusyu’.

 

Oleh karena itulah ketika kita shalat, kita dianjurkan untuk memulai dengan Takbiratul Ihram Allahu Akbar, setiap perpindahan kita ucapkan Allahu Akbar. Hal ini supaya hati kita merasakan kebesaran Allah Jalla wa ‘Ala. Ketika di hati kita Allah yang lebih besar daripada segala-galanya, pasti kita khusyu’, saudaraku. Tapi ketika di sana ada yang lebih besar di hati kita dari kehidupan dunia, kita lebih memikirkan kehidupan dunia daripada Allah sehingga Allah tidak lebih besar di hati kita, bagaimana hati bisa menjadi khusyu’?

 

Maka saudaraku, setiap kita bersungguh-sungguh bagaimana caranya supaya shalat kita khusyu’, supaya kemudian kekhusyu’an itu memberikan dampak yang luar biasa dalam hidup kita.

Postingan populer dari blog ini

Kun Ma'allah

CERAMAH HAUL DAN KEHARUSAN BERGURU

Sejarah Dzikrul Ghofilin