Isra Miraj
Kalau kita perhatikan, hampir setiap bulan dalam kalender Islam memiliki nilai sejarah. Kalau kita bicara Muharrom misalnya, kita diingatkan pada peristiwa hijrah. Di bulan Ramadhan kita bertemu dengan nuzulul Qur’an. di bulan Dzulhijjah membawa kita ke peristiwa Idul Qurban. Kita menjumpai Idul fitri di bulan Syawal. Kita bersua dengan Maulid Nabi di bulan Rabi’ul Awal dan ketika sampai di bulan Rajab, kita diajak mengembara, merasakan ke Maha besaran Allah bersama Isra Mi’raj.
Al- Qur’an banyak menceritakan peristiwa bersejarah. Yang Istimewa, ketika Allah menceritakan peristiwa Isra Mi’raj, Allah Swt memulai ayat-Nya dengan kalimat tasbih. Allah Swt berfirman:
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلاً مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ اْلأَقْصَا الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ ءَايَاتِنَآ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Maha Suci Allah (maha hebat Allah) yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al-Masjidil Haram ke Al-Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda kebesaran Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS. 17:1)
Banyak peristiwa yang disebutkan dalam al-Qur’an, tetapi jarang sekali diawali dengan kalimat tasbih. Contoh, ketika al-Qur’an menceritakan Fir’aun dan bala tentaranya yang ditenggelamkan oleh Allah di laut merah. Ini peristiwa hebat dan luar biasa tapi tidak dimulai dengan kalimat tasbih.
Kalimat selanjutnya adalah ‘asra’ yang artinya Allah yang ‘telah memperjalankan’.
Dari kalimat itu tampak bahwa dalam peristiwa Isra Mi’raj yang aktif adalah Allah Swt. Karenanya tidak heran jika Nabi berangkat dari Mekkah menuju Masjidil Aqsha di Palestina, lalu naik ke langit ketujuh, naik lagi ke Baitul Makmur setelah itu ke Sidratul Muntaha, hingga tiba di bawah Arsy menerima perintah shalat, melakukan kunjungan ke neraka dan surga, kemudian kembali lagi ke Mekkah, hanya memakan waktu tidak lebih dari sepertiga malam. Kenapa tidak bisa? Kan Allah yang memperjalankan. Andaikan Rasul berjalan sendiri, jelas beliau tidak akan sanggup menempuh jarak yang demikian jauh dalam waktu sesingkat itu.
Oleh karena itu di dalam memahami peristiwa Isra’ Mi’raj jangan memakai logika manusia, tetapi harus menggunakan logika ke Maha Kuasaan Allah. Seperti seekor semut yang berada di dalam mobil, mampu menempuh puluhan kilo meter dalam satu jam perjalanan. Tentu yang harus dipakai adalah logika manusia, bukan logika semut.
Kemudian kata “bi Abdihi (Hamba-Nya)”. Kenapa Allah tidak menggunakan kalimat lain misalnya subhanalladzi asro bi Muhammadin? Ada dua pengertian yang dikandung kata ‘abdihi’ atau hambanya dalam ayat tersebut:
Pertama, kata ‘hamba’ itu menjelaskan bahwa Nabi Muhammad Saw melakukan Isra dan Mi’raj dengan ruh dan jasad. Sebab, orang hanya akan dipanggil hamba kalau punya jasad dan ruh sekaligus.
Kedua, kata ‘abdihi’ juga menjelaskan bahwa Nabi Muhammad itu oleh Allah benar-benar telah diakui sebagai hamba-Nya. Mungkin kita bertanya, “lho, apakah kita bukannya hamba Allah?”. Tentu kita ini hamba Allah, tapi kata siapa? Kalau kata kita, itu namanya pengakuan dari kita. Kita mengaku sebagai hamba Allah. boleh-boleh saja. Tetapi apakah pengakuan kita itu juga diakui Allah?, ini yang menjadi masalah. Begitu banyak manusia yang mulutnya mengaku sebagai hamba Allah, tetapi perbuatannya membuktikan bahwa ia adalah hamba syetan, hamba dunia, hamba nafsu, hamba atasan, hamba uang, budak pangkat dan budak jabatan.
Dipenghujung ayat itu kita menjumpai kalimat: “linuriyahu min ayatina”. Yang artinya agar Kami perlihatkan kepadanya (yaitu kepada Nabi Muhammad Saw) sebagian dari tanda-tanda (kebenaran) kami (kata Allah Swt).
Seluruh peristiwa yang dilihat dan dijumpai Nabi sepanjang perjalanan merupakan sebagian kecil dari tanda-tanda kebesaran Allah Swt dan itu merupakan perumpamaan. Contoh ketika Nabi melihat orang yang mencakar-cakar mukanya dengan kukunya sendiri, beliau bertanya: ya Jibril, itu orang macam apa? Jibril menjawab, itulah contoh dari ummatmu yang suka menjelek-jelekkan saudaranya sendiri. Lalu Nabi melihat orang yang dipotong lidahnya. Kata jibril, itu adalah contoh dari ummatmu yang suka membuat fitnah.
Rasulullah juga melihat sekumpulan orang yang retak dan pecah kepalanya, kemudian kembali seperti semula. Jibril berkata: "Mereka adalah orang-orang yang enggan dan malas menunaikan kewajiban shalat."
Rasulullah juga melihat orang-orang yang memperebutkan daging busuk dan mengabaikan daging bagus yang sudah terpotong-potong. Jibril berkata: "Mereka adalah orang-orang dari umatmu yang meninggalkan sesuatu yang halal, dan lebih memilih sesuatu yang haram, lalu memakannya. Rasulullah juga melihat orang-orang yang meminum nanah yang keluar dari para pezina. Jibril berkata: "Mereka adalah para peminum khamr yang diharamkan oleh Allah di dunia."
Ditempat yang lain Nabi menyaksikan sekelompok orang yang bercocok tanam. Anehnya, saat mereka menamam saat itu pula pohonnya berbuah. Tiap kali dipetik buahnya, seketika itu keluar lagi buah yang lainnya. Malaikat Jibril berkata, wahai Muhammad, itulah gambarab ummatmu yang gemar memberi bantuan kepada orang yang sedang memerlukannya.
Dalam peristiwa Isra dan mi’raj, Nabi menerima perintah shalat. Inilah salah satu keistimewaan shalat. Semua syariat Islam seperti puasa, zakat dan haji diturunkan dibumi kecuali shalat yang diturunkan di langit dengan dipanggilnya Nabi Muhammad Saw kehadirat Allah Swt.
Isra dan mi'raj adalah mu'jizat Nabi Muhammad Saw. Tidak diberikan kepada manusia biasa. Namun manusia bisa melakukan Mi’roj yaitu bertemu dengan Allah Swt. Bagaimana caranya? Yaitu dengan melakukan ibadah shalat. Karena Rasulullah Saw pernah bersabda: ash-shalatu mi'rajul mu'minín, shalat itu mi'rajnya orang-orang yang beriman.