Memahami IHSAN

 Al-Imam Muslim dalam kitabnya Shahih Muslim meriwayatkan hadis yang disebut dengan Ummu as-Sunnah ‘induknya hadis-hadis Nabi . Hadis tersebut adalah hadis yang masyhur, dan hadis pertama dalam kitab Shahih Muslim. Disebut dengan ummu as-sunnah menunjukkan bahwa seakan-akan seluruh hadis-hadis Nabi Muhammad terangkum dalam hadis tersebut. Hadis tersebut adalah yang biasa kita kenal dengan sebutan hadis Jibril.

Jibril datang kepada Nabi Muhammad dengan menjelma menjadi seorang manusia. Kemudian ia bertanya kepada Rasulullah tentang Islam, maka Rasulullah menjawab lima rukun Islam. Kemudian Jibril kembali bertanya tentang iman, maka Rasulullah menjawab enam rukun iman. Kemudian setelah itu Jibril bertanya kepada Rasulullah tentang ihsan, maka Rasulullah menjawab,

أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ

Ihsan adalah kamu menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, maka jika kamu tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.”

Berdasarkan hadis ini, para ulama menjadikan agama itu bertingkat-tingkat. Tingkatan pertama adalah Islam, tingkatan kedua adalah iman, dan tingkatan tertinggi adalah ihsan.

Rukun Ihsan ada 2:

Yang pertama adalah maqom Musyahadah, yaitu seseorang beribadah dalam kondisi seakan-akan dia melihat Allah. Caranya adalah dengan menghadirkan dalam dirinya kemahabesaran Allah dan keagungan-Nya.

Imam Nawawi mengatakan bila seseorang di dalam ibadahnya mampu melihat menghadirkan kemahabesaran Allah dan keagungan-Nya maka ia idak akan meninggalkan sedikit pun sikap khusyuk dan khudu’ di dalam ibadahnya tersebut.

Maqom yang kedua adalah maqom muroqobah, yaitu Jika seseorang tidak mampu mencapai derajat ihsan yang pertama, maka hendaknya dia berusaha berada dalam maqom muroqobah yaitu merasa selalu diawasi dan dilihat oleh Allah.

Ilustrasinya seperti ini : Ketika kita menemui seorang raja maka kita akan duduk dengan tenang, sopan dan penuh penghormatan. Begitu juga saat raja belum menemui dan kita melihat bahwa setiap sudut ruangan ada CCTV, dimana segala aktivitas bisa terpantau dan diketahui, maka kita tidak akan berperilaku tidak layak diruangan tersebut.

Barangkali demikian makna ihsan yang hendak diajarkan oleh Rasulullah kepada umatnya. Saat kita menyembah Allah kita mesti menghadirkan Allah di depan kita dan merasa bahwa kita sedang berhadap-hadapan dengan-Nya. Dengan demikian maka ketika seseorang sedang melakukan peribadatan kepada-Nya ia tak akan berani melakukan tindakan-tindakan yang tak semestinya dilakukan di hadapan Allah ta’ala. Yang akan dilakukan adalah bagaimana sebisa mungkin ibadah yang sedang dilakukannya terlaksana dengan baik, sempurna, dan khusyuk.

Orang yang berihsan dalam beribadah akan berpenampilan sebaik mungkin karena ia merasa sedang berhadapan langsung dengan Allah yang disembahnya. Ia gunakan pakaian terbaiknya, dengan wewangian, rambut tersisir rapi, tanpa ada kotoran yang menempel di badannya, dan sebagainya. Hal ini pula yang akan ia lakukan dalam beribadah meski ia tak benar-benar melihat Tuhannya, karena ia merasa selalu dilihat oleh Allah Swt.  

Lebih jauh dari itu berperilaku ihsan bukan saja ketika seseorang sedang melakukan aktivitas ibadah kepada Allah. Kalimat an ta’buda (engkau menyembah) pada hadits di atas bisa dipahami secara luas. Kata ini berasal dari kata ‘abdun yang berarti budak atau hamba sahaya. Dari arti dasar kata ini maka kalimat an ta’budallah pada hadits di atas bisa diartikan sebagai engkau menjadi budak atau hamba sahayanya Allah atau engkau menghambakan diri kepada Allah.

Bila demikian adanya maka ihsan dalam hadits di atas dapat didefinisikan sebagai “engkau menjadi hamba sahayanya Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan bila engkau tak melihat-Nya maka sesungguhnya Ia selalu melihatmu.” Satu pertanyaan mendasar, di waktu kapan dan di tempat mana kita menjadi hambanya Allah? Apakah ketika sedang shalat, membaca Al-Qur’an, berpuasa atau ketika sedang melakukan aktivitas lainnya juga? Apakah seseorang menjadi hambanya Allah ketika ia sedang berada di masjid saja?

Bila seseorang menjadi hamba Allah ketika melakukan aktifitas ibadah tertentu, maka menjadi hambanya siapakah ketika ia sedang tidak beribadah? Bila seseorang menjadi hambanya Allah ketika ia sedang berada di masjid, maka menjadi hambanya siapa ketika ia sedang berada di pasar, kantor, jalanan dan tempat lainnya?

Tidak demikian tentunya. Kapanpun dan di manapun, sedang diam atau bergerak, seseorang selalu menjadi hambanya Allah. Tak sedetikpun waktu berlalu kecuali setiap orang menyandang status sebagai abdullah, hamba Allah. Dalam kondisi demikian ini perilaku ihsan dituntut untuk dilakukan. 

Dengan berihsan seorang pedagang tak akan berbuat curang pada dagangannya karena merasa selalu diperhatikan oleh Allah. Seorang pegawai tak akan melakukan perilaku curang karena ia sadar sebagai hamba Allah tak pernah luput dari pengawasan-Nya. Dan seterusnya, dan seterusnya.

Dengan berihsan di manapun seorang hamba berada tak akan pernah mampu berlaku menyimpang, curang, zalim, menyalahi aturan dan perilaku negatif lainnya karena ia merasa di manapun selalu dalam pengawasan Allah.

Oleh karena itu, hendaknya dengan berjalannya waktu ini kita terus beramal dengan menghadirkan ihsan dalam kehidupan kita sehari-hari, hingga akhirnya kita benar-benar meraih derajat tertinggi dalam agama, dan kita mendapatkan pahala dari Allah . Allah berfirman:

لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ

Bagi orang-orang yang berbuat baik (yang melakukan ihsan), ada pahala yang terbaik (yaitu surga) dan tambahannya (yaitu melihat Allah).” (QS. Yunus: 26)

Postingan populer dari blog ini

Kun Ma'allah

Sejarah Dzikrul Ghofilin

CERAMAH HAUL DAN KEHARUSAN BERGURU