Sejarah Dzikrul Ghofilin
Dzikrul Ghofilin adalah rangkaian wirid yang
intinya
membaca surat Al-Fatihah seratus kali,
tawassul bil auliya wash sholihin,
Ayatul Kursiy,
Asmaul Husna,
istighfar, sholawat,
dan tahlil,
yang disusun oleh tiga serangkai: Gus Miek, KH.
Hamid Pasuruan, dan KH. Ahmad Shiddiq Jember.
Seluruh wirid yang terangkai dalam Dzikrul
Ghofilin, komposisi dan cara pengamalannya berlandaskan dalil-dalil yang resmi
dan shohih dari Al-Quran, sunnah dan ajaran-ajaran para masyayikh yang
bersambung sanadnya sampai Rosulullah saw.
Dzikrul Ghofilin adalah aurod sunnah yang
sifatnya terbuka dan universal.
Artinya bisa diamalkan oleh siapa saja;
mulai dari yang berilmu sampai pun yang paling
awam,
dengan tetap terjamin daya sentuhnya – Siapapun
pengamalnya –
asalkan ia mengamalkannya dengan yakin, ikhlas,
dan istiqomah.
Dzikrul Ghofilin ini, utamanya ditujukan untuk
orang-orang awam yang belum mempunyai wirid yang dijadikan pegangan.
Karenanya, aurod ini sederhana, mudah
diamalkan, dan tidak mensyaratkan hal-hal tertentu yang harus dipenuhi oleh
pengamalnya, dan dijamin tidak mempunyai efek negatif.
Seperti
thoriqoh misalnya, calon pengamalnya harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang
telah ditetapkan, dan kemudian melakukan bai’at pada seorang mursyid.
Sebagai konsekwensi dari bai’at yang diberikan,
maka ada kewajiban-kewajiban yang harus ditunaikan. Hal ini terkadang berat
untuk dilaksanakan, terutama oleh kalangan awam.
Sedangkan Dzikrul Ghofilin, bagi orang yang
telah berketetapan hati untuk mengamalkannya, cukup mengambil ijazah dari
mujiz.
Ijazah
ini ibarat “surat ijin” untuk mengamalkannya.
Apabila dikarenakan suatu dan lain hal ia tidak
berkesempatan mengamalkannya,
ia tidak terkena dampak apa-apa.
Hanya meninggalkan suatu ke-sunnahan – bukan
suatu kewajiban.
Ibarat obat, wirid itu mempunyai
tingkatan-tingkatan dosis yang harus sesuai dengan kondisi orang yang
mengkonsumsi.
Apabila dosisnya terlalu tinggi melebihi
ketahanan orang yang mengkonsumsi,
bisa jadi akan berefek tidak baik bagi dirinya.
Jadi harus tepat dosis yang diambil.
Dan yang bisa mengetahui dosis secara tepat,
tentulah dokter – dalam hal ini “dokter spesialis wirid”.
Dan Dzikrul Ghofilin ini telah diramu oleh para
penyusunnya – yang merupakan pakar-pakar wirid – untuk bisa diamalkan oleh
siapapun dalam tingkatan apapun.
Sehingga dijamin tidak akan berefek negatif
bagi pengamalnya.
KH. Ahmad Shiddiq, dalam suatu kesempatan
ketika memberikan ijazah,
mengibaratkan para pengamal Dzikrul Ghofilin
ini seperti para penumpang yang naik di gerbong di rangkaian yang paling
buncit.
Gerbong barang yang kumuh dan penuh kotoran.
Lokomotifnya adalah Rosulullah saw.
Di gerbong eksekutif paling depan, bertempat
para sahabat Beliau saw.
Berikutnya berturut-turut para Tabi’in, Tabi’it
Tabi’in, para auliya dan sholihin.
Meskipun sekedar gerbong kumuh dan berada di
rangkaian paling belakang,
asalkan tidak dilepas dari rangkaian kereta
didepannya,
kemanapun lokomotifnya menuju dan sampai di
tujuannya,
tentu gerbong itu akan ikut sampai pula di
tempat tujuan.
Demikian halnya, para pengamal Dzikrul
Ghofilin.
Sepanjang mereka mengamalkannya dengan
sungguh-sungguh dengan niat dan tujuan yang benar, dilandasi keyakinan,
keikhlasan, dan istiqomah,meskipun mungkin banyak kekurangan dan
keterbatasannya, insyaallah akan berhenti dan sampai di pemberhentian yang sama
karena “tarikan” syafa’at Rosulullah saw dan para auliya-sholihin.
Sejarah Dzikrul Ghofilin
Dzikrul Ghofilin ini bermula dari suatu
perjalanan KH. Ahmad Shiddiq untuk suatu keperluan ke Surabaya.
Selesai berziarah ke makam Sunan Ampel,
menjelang pulang, Beliau mendapatkan isyarah untuk menemui KH. Hamid di
Pasuruan.
Pada pertemuan di Pasuruan itu, di kediaman KH.
Hamid,
Beliau mendapatkan ijazah untuk mengamalkan
surat Al-Fatihah seratus kali setiap harinya dan Asmaul Husna.
Pada saat itu KH. Hamid berpesan agar amaliyah
ini jangan “diiklankan”.
Tetapi
bila ada yang ingin mengamalkannya, boleh diijazahkan.
Setibanya Beliau di Jember, Beliau telah
dinanti oleh Gus Miek di kediaman Bapak Nur Marlian (alm) di dusun Comboran,
Jl. HOS Coroaminoto Jember.
Di rumah itulah terjadi pembicaraan empat mata
antara Beliau dengan Gus Miek, yang akhirnya menghasilkan keputusan bahwa
amaliyah yang diijazahkan oleh KH. Hamid ini akan disempurnakan menjadi suatu
rangkaian aurod (yang kemudian dikenal dengan sebutan Dzikrul Ghofilin) yang
nantinya akan dikenalkan kepada jamaah Beliau-Beliau – yang mayoritas adalah
orang awam – agar kemanfaatan dan keberkahannya tersebar.
Saat itu Gus Miek menambahkan istighfar
seratus, sholawat tiga ratus, dan tahlil seratus dengan komposisi perbandingan
satu istighfar, tiga sholawat, dan satu tahlil menurut resep dari Sayyidah
Robi’ah al ‘Adawiyah.
Selanjutnya – dengan berupaya mengumpulkan dari
berbagai sumber -KH. Ahmad Shiddiq menyusun rangkaian tawassul bil auliya
(bertepatan pada saat itu Beliau memang sedang “gandrung” terhadap para auliya
dan sholihin) sampai akhirnya menjadi rangkaian seperti sekarang ini.
Beliau juga menambahkan sholawat munjiyyatud
daroini yang dari Gus Miek pada rangkaian doa terakhir, dan doa syi’ir dari Syaikh al Habib Ahmad bin
‘Umar bin Sumaith.
Kemudian pada pertemuan dengan KH. Hamid pada
kali yang berikut, KH. Ahmad Shiddiq membacakan rangkaian aurod yang telah
tersusun itu di hadapan Beliau untuk di tash-hih dan dimintakan restu dan
ijazah.
Bahkan sewaktu Beliau membaca sampai pada….ila
hadlroti al Quthbil Kabir, asy-syaikh ‘Abdis Salam bin Masyis, KH. Hamid
menangis tersedu-sedu, sampai-sampai Beliau – KH. Ahmad Shiddiq – tergetar
hatinya. Dan Beliau meneruskan membaca
sampai selesai.
Setelah mendapatkan restu dari KH. Hamid, maka
dicetaklah rangkaian aurod ini dalam wujud suatu kitab kecil dengan nama
Dzikrul Ghofilin.
Nama ini dipilih oleh Gus Miek.
Begitu pula seluruh kata-kata yagn tercantum
pada sampul kitab, redaksinya dari Beliau. Setelah Dzikrul Ghofilin dicetak,
KH. Ahmad Shiddiq mendapat beberapa isyaroh yang semakin menguatkan keyakinan
Beliau bahwa aurod ini mendapatkan ijin dan restu dari para sholihin.
Salah satunya, Beliau bermimpi melihat KH.
Abdul Halim Shiddiq dan KH. Hamid sedang berada di sebuah kamar. Pada waktu
Beliau masuk, KH. Abdul Halim menyambut Beliau seraya berkata: “Lha ini..
tukang pijitnya sudah datang.” Kemudian Beliau diminta untuk memijat punggung
KH. Hamid.Saat itu KH. Hamid membuka kitab kecil, kitab Dzikrul Ghofilin, dan
membacanya didepan Beliau dengan disaksikan KH Abdul Halim.
Kemudian, saat Beliau keluar dari kamar itu,
KH. Hamid sambil bercanda menunjuk-nunjuk Beliau dan berkata: “Jangan
bilang-bilang kalau ini dari saya..”
Dan Beliau menjawab dengan bercanda pula:
“Biar..akan saya ceritakan ke orang-orang..”
Peristiwa kedua, Beliau bermimpi seakan-akan
sedang berlayar ke suatu pantai. Disana Beliau sudah ditunggu dan disambut oleh
KH. Ahmad Qusyairi Shiddiq bersama beberapa orang yang mengenakan jubah seperti
rombongan para habaib. Kemudian Beliau diajak berjalan ke suatu tempat, seperti
di kota Makkah, dengan KH Ahmad Qusyairi berjalan didepan Beliau. Karena
cepatnya KH Ahmad Qusyairi berjalan, akhirnya Beliau tertinggal di belakang,
sehingga Beliau harus bertanya-tanya kepada penduduk kota menanyakan tempat
tinggal KH. Ahmad Qusyairi. Yang mencengangkan Beliau adalah jawaban dari
orang-orang yang ditanya: “Bagaimana kami tidak tahu sedangkan dia mendoakan
kamu setiap waktu?.” Akhirnya KH. Ahmad Shiddiq bertemu dengan KH. Ahmad
Qusyairi di Masjidil Haram, dan Beliau dhawuh: “Pokoknya selagi kamu memimpin
wirid (Dzikrul Ghofilin), aku akan mendoakan kamu di Ka’bah.” Demikian yang
disarikan dari cerita yang Beliau sampaikan pada suatu pertemuan keluarga yang
diselenggarakan pada tanggal 25 Oktober 1986.
Seluruh proses penyusunan aurod Dzikrul
Ghofilin dan perangkaiannya terjadi di bulan Sya’ban, dan mulai diamalkan
pertama kali di awal Romadlon bertempat di musholla PP ASHTRA Jember pada tahun
1973.
Perkembangan berikutnya, aurod ini berkembang
pesat. Berbondong-bondong orang datang meminta ijazah untuk mengamalkannya
meskipun tidak dipromosikan. Sampai-sampai seperti gerakan thoriqoh, meskipun
sebenarnya ini bukan thoriqoh.
Tata Cara Pengamalan Dzikrul Ghofilin
Inti dari pengamalan Dzikrul Ghofilin adalah
membaca surat Al-Fatihah seratus kali setiap hari, dibagi dan dibaca setiap
selesai sholat maktubah dengan jumlah tertentu sebagai berikut:
Pertama: berturut-turut mulai dari ba’da
Shubuh, Dhuhur, ‘Ashar, Maghrib, dan ‘Isya masing-masing 21 kali, 22kali , 23
kali, 24 kali, dan 10 kali.
Cara kedua: berturut-turut mulai dari ba’da
Shubuh, Dhuhur, ‘Ashar, Maghrib, dan ‘Isya masing-masing 30 kali, 25 kali , 20
kali, 15 kali, dan 10 kali.
Tujuan dari pendistribusian demikian ini, agar
seluruh waktu kita “basah” dengan surat Al-Fatihah dan sekaligus sebagai
penghias dan penyempurna sholat lima waktu. Inilah yang menjadi pokok dan
simbol pengamalan Dzikrul Ghofilin.
Sedangkan pengamalan keseluruhannya, dianjurkan
sesuai dengan kemampuan dan kesempatan masing-masing pengamalnya. Diantara para
jamaah, ada yang mengamalkannya setiap hari, seminggu sekali atau selapan hari
(35 hari menurut penanggalan jawa) sekali, baik secara berjamaah ataupun
sendiri-sendiri. Ada pula yang tidak puas dengan hanya sehari sekali, dan
mengamalkannya berkali-kali dalam sehari semalam seperti yang dilakukan KH.
Abdul Hadi Lempuyangan Yogyakarta.
Sebelum mulai membaca surat Al-Fatihah seratus
kali, diawali dengan Ihda’ kepada Rosulullah saw, berikutnya Syaikh Abdul Qodir
al Jailani, Syaikh Abi Hamid Muhammad al Ghozali, dan Habib Abdullah bin ‘Alwi
al Haddad – yang kepada Beliau-Beliau bertiga inilah wirid ini dinisbatkan –
baru kemudian membaca surat Al-Fatihah seratus kali. Atau bisa juga tiap-tiap
sepuluh kali Al-Fatihah, bacaan ihda’ diulang.
Maksud dan Tujuan Dzikrul Ghofilin
Berbicara tentang tujuan, berarti berbicara
tentang niatan.
Karena tujuan merupakan refleksi dari niat.
Dan niat inilah yang acap kali menjadi faktor
pembeda.
Boleh jadi seseorang melakukan sesuatu hal yang
segala sesuatunya secara lahiriyah sama persis dengan apa yang dilakukan oleh
orang lain.
Akan tetapi perolehannya berbeda.
Maka faktor dominan yang menyebabkan perbedaan
itu adalah perbedaan niat dan tujuan.
Seorang yang berdoa memohon sesuatu, mungkin
doanya sama persis dengan apa yag dibaca orang lain. Tetapi bisa jadi apa yang
didapat oleh keduanya berbeda karena perbedaan motifasinya. Yang satu
berangan-angan perolehan duniawi yang segera bisa dienyam, sedangkan yang lain
berangan-angan kebutuhannya di kehidupan yang abadi di akhiroh kelak. Tentu
sikap Allah kepada keduanya akan berbeda pula sebagaimana yang disebut didalam
QS al-Baqoroh 200-201.
Arah sebuah kendaraan, tentu tergantung dengan
kehendak pengendaranya. Meskipun mungkin sebenarnya kendaraan tersebut sudah
didesain dan dipersiapkan untuk suatu tujuan tertentu, pada akhirnya – sesuai
atau tidak dengan desain dan rencana pembuatannya – tergantung pada keputusan
si pengendara untuk diarahkan kemana. Begitu pula amaliyah apapun, baik yang
gambarannya berupa amaliyah dunyawiyah ataupun ukhrowiyah (termasuk Dzikrul
Ghofilin), fungsionalitasnya berpulang kepada orang yang mengamalkannya. Bisa
jadi berfungsi dan berjalan sebagaimana mestinya, atau berubah berkebalikan.
Yang secara lahiriyah bersifat duniawi menjadi amal ukhrowi atau sebaliknya.
Disini nilai penting ijazah (meskipun menilik
ke-universalan rangkaian wirid yang terkandung didalamnya, sebenarnya tidak
memerluka ijin secara khusus). Bukan dari sisi seremonialnya atau sekedar kamu
boleh – kamu tidak boleh, akan tetapi yang lebih penting ketika seorang calon
pengamal mendapatkan informasi yang cukup untuk bisa mengamalkan amaliyah ini
dengan tujuan yang seharusnya. Sehingga amaliyah yang dilakukannya bisa
berfungsi dan berbuah seperti yang sudah seharusnya.
Dzikrul Ghofilin ini adalah ibadah murni yang
tujuannya untuk mendapatkan perolehan-perolehan hakiki di kehidupan yang abadi
di akhirat kelak. Tidak ditujukan untuk memperoleh keberhasilan duniawi. Bahkan
menurut para peramunya, haram diiklankan sebagai sarana untuk memperoleh
keberhasilan duniawi.
Tujuan yang pokok dari pengamalan Dzikrul
Ghofilin sebagaimana yang telah ditegaskan oleh para peramunya adalah:
•
Ingin mendapatkan ridla Allah dalam setiap upaya kita untuk mengerjakan
apa yang diperintahkanNya dan meninggalkan apa yang dilarangNya, dengan segala
keterbatasan dan kekurangan kita dalam melaksanakannya.
•
Ingin mendapatkan mahabbah Rosulullah dan syafaatnya kelak, juga syafaat
para auliya dan sholihin
•
Ingin mendapatkan nikmat dan rahmat Allah.
•
Ingin dikaruniai akhiran hidup yang indah dalam keimanan dan husnal
khotimah.
Kalau kita cermati tujuan-tujuan tersebut,
jelas sekali bahwa Dzikrul Ghofilin ini benar-benar dimaksudkan untuk ibadah
belaka, untuk mencari kebaikan-kebaikan akhiroh. Jauh dari muatan
kepentingan-kepentingan duniawi.
Sedangkan tanda-tanda bahwa Dzikrul Ghofilin yang diamalkan ini telah
berjalan sesuai jalur dan mulai berbuah, menurut Gus Miek – sebagaimana semaan
Al-Quran, karena keterkaitan dan kemanunggalan keduanya – apabila telah
tertanam pada diri pengamalnya kebiasaan untuk selalu ber- tafakkur, tasyakkur,
dan tadzakkur.
Tafakkur yang dilakukan intinya berkoreksi diri
terus menerus sehingga terpalingkan dari melirik kesalahan yang dilakukan orang
lain, sampai akhirnya tiba pada kesimpulan bahwa ia adalah hamba yang belum
baik, lemah, dan banyak dosa. Bukan orang yang sudah menjadi baik, apalagi
sampai merasa lebih baik ketimbang orang lain. Tasyakkur intinya terampil
menelusuri dan menghayatibahwa semua yang telah ditetapkan Allah menimpanya,
baik yang berasa manis ataupun pahit, hakikatnya adalah wujud belas asih dan
anugerah Allah padanya sampai akhirnya ia senantiasa berbaik sangka kepada
Allah dengan tidak mengenal istilah “musibah”. Sedangkan tadzakkur,
perwujudannya terampil mengingat Allah, menyadari kebersamaanNya dan
pengawasanNya dalam setiap gerak dan diamnya.
Apabila hal ini belum terwujud, bukan karena
amaliyahnya yang salah. Tetapi mungkin keyakinannya yang kurang terhadap apa
yag diamalkan, atau bisa jadi keikhlasannya yang kurang, atau mungkin belum
mampu untuk istiqomah.
Beberapa Pesan yang Tersirat
Ada beberapa hal yang menarik untuk dicermati dari
Dzikrul Ghofilin. Pertama, pemilihan nama Dzikrul Ghofilin itu sendiri. Sebuah
pilihan yang tidak lazim – karena biasanya untuk nama itu dipilih suatu yang
menarik minat. Dibalik pemilihan nama Dzikrul Ghofilin – dzikirnya orang-orang
yang banyak lupa – terkandung suatu maksud dan filosofi bahwa para pengamal
Dzikrul Ghofilin diharapkan menjadi pribadi-pribadi yang menghayati bahwa
dirinya termasuk kelompok orang yang banyak lalai, yang sangat membutuhkan
belas kasih Allah, dan ingin kembali – bertaubat kepada Nya. Hal ini
bersesuaian dengan misi kegiatan semaan Al-Quran yang dirintis oleh Gus Miek,
yang salah satu partner Beliau adalah KH. Ahmad Shiddiq. Barangkali, ini
merupakan salah satu wujud keterkaitan dan kemanunggalan semaan al-Quran dengan
Dzikrul Ghofilin sebagaimana yang dimaksud oleh Gus Miek. Sama-sama mengemban
misi sebagai sarana bagi seluruh yang mengamalkannya untuk melakukan perbaikan
dan pembenahan diri.
Berikutnya, kata-kata yang tertera pada sampul
kitab Dzikrul Ghofilin yang tertulis:
“Dzikrul Ghofilin, liman ahabba an yuhsyaro
ma’al auliya wash sholihin”
Bahwa Dzikrul Ghofilin ini diperuntukkan bagi
orang-orang yang berkeinginanuntuk dikumpulkan bersama para Auliya dan
Sholihin, utamanya kelak di akhiroh.Jadi seakan-akan ditegaskan bahwa para
pengamalnya, yang menyadariakan kekurangan, keterbatasan, dan ketidak patutan
yang ada pada dirinya tidak putus pengharapan untuk bisa berkumpul dengan
hamba-hambaNya yang mulia, para auliya-sholihin, berkat belas asih Allah dan
syafaat para beliau. Utamanya syafaat Rosulullah saw.
Selanjutnya disebutkan
“Katabahu adh-dholimu linafsihi, ahqorul
basyar, wa afqoruhum ila ‘afwil Ghoffar:
al Hajj Ahmad Shiddiq, al maulud fi Jembar”
bahwa yang menulis rangkaian wirid ini adalah
orang yang merasa dan mengakui bahwa ia telah berbuat aniaya pada dirinya,
manusia yang paling hina dan yang paling butuh ampunan dari Dzat Yang Maha
Pengampun, yaitu KH. Ahmad Shiddiq yang lahir di Jember.
Betapa dari susunan kalimat-kalimat ini
tersirat ajaran yang halus tentang jati diri manusia, tentang pengharapan, dan
penghambaan. Bahwa kita ini, beserta atribut apapun yang menempel pada diri
kita, tetaplah hanya sekedar hamba yang sangat-sangat terbatas. Asli dari diri
kita ini tak lebih seperti bayi yang baru lahir yang tak mempunyai daya
apa-apa, atau seperti orang yang sedang menghadapi sakaratul maut yang juga tak
berdaya apa-apa. Adapun tempelan-tempelan atribut yang ada pada diri kita dalam
kehidupan ini adalah ujian. Dan kunci keberhasilan dalam menghadapi ujian
kehidupan adalah apabila kita mendapatkan pertolongan Allah. Dan syarat untuk
mendapatkan itu, kita harus tahu diri, sadar akan kelemahan diri, dan bisa
menempatkan diri di hadapan Allah Sang Maha Sutradara.
Satu hal lagi yang menarik untuk diperhatikan,
bahwa meskipun penyusun aurod Dzikrul
Ghofilin ini Beliau-Beliau bertiga, akan tetapi yang dikedepankan adalah nama
KH. Ahmad Shiddiq. Beliau-beliau ini tidak lantas berebut untuk memasang nama
agar dikenal sebagai pencetus dan peramu Dzikrul Ghofilin. Sampaipun KH. Ahmad
Shiddiq yang namanya disebut. Dalam banyak kesempatan, berkali-kali Beliau
menyampaikan bahwa Dzikrul Ghofilin ini bukan karya Beliau seorang. Bahwa
Beliau ini hanya menuliskan apa yang dikonsepkan. Suatu pengajaran yang luar
biasa bahwa tak seorang pun dari Beliau-Beliau yang ingin menonjolkan diri.
Kalaupun ada yang harus disebutkan namanya, itupun untuk siyasatul khidmah –
agar para pengamalnya yakin bahwa wirid ini bisa dipertanggung jawabkan. Amal
yang benar-benar berbobot di hadapan Allah, tidak akan terkurangi nilainya
hanya karena luput dari penilaian manusia. Bahkan orang-orang semisal
Beliau-Beliau ini lebih suka menyembunyikan amal kebaikan dan jasa-jasanya dari
pandangan orang lain karena merasa cukup dengan penilaian Allah saja.