Allah menyembunyikan tiga perkara dalam tiga perkara
Dalam kehidupan ini ada hal-hal yang tampak secara jelas sehingga setiap orang bisa menyikapinya dengan mudah. Demikian pula ada hal-hal yang tersembunyi sehingga tidak mudah menyikapinya. Jika Allah merahasiakan sesuatu, pasti Allah memiliki maksud tertentu tetapi dengan tujuan yang jelas.
Menurut Ali Zainal Abidin bin Husein radhiallahu anhuma, Allah
menyembunyikan tiga perkara dalam tiga perkara sebagaimana dikutip Allamah
Sayyid Abdullah bin Alawi al-Haddad dalam kitab Al-Fushul al-‘Ilmiyyah wal
Ushul al-Hikamiyyah sebagai berikut:
وَقَالَ زَيْنُ
اْلعَابِدِيْن عَلِيُّ ابْنُ اْلحُسَيْنِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا: إنَّ اللهَ
خَبَّأَ ثَلَاثًا فِى ثَلَاثٍ : خَبَّأَ رِضَاهُ فِيْ طَاعَتِهِ فَلَاتَحْقِرُوا
مِنْ طَاعَتِهِ شَيْئاً فَلَعَلَّ رِضَاهُ فِيْهِ، وَخَبَّأَ سُخْطَهُ فِيْ
مَعْصِيَتِهِ فَلَا تَحْقِرُوْا مِنْ مَعْصِيَتِهِ شَيْئًا فَلَعَلَّ سُخْطَهَ
فِيْهِ، وَخَبّأَ وِلَايَتَه فِي خَلْقِه فَلَا تَحقِرُوْا مِن عِبَادِهِ اَحدًا
فَلَعَلهُ وَلِيُّ اللهِ
Artinya: Ali Zainal Abidin radhiallahu anhuma berkata, “Allah SWT
menyembunyikan tiga perkara dalam tiga perkara. Allah menyembunyikan ridha-Nya
dalam amal ketaatan kepada-Nya, maka jangan remehkan sesuatu pun dari ketaatan
kepada-Nya, mungkin di situlah letak ridha-Nya. Allah menyembunyikan murka-Nya
dalam perbuatan maksiat, maka jangan meremehkan sesuatu dari maksiat
kepada-Nya, mungkin di situlah letak murka-Nya. Allah menyembunyikan para
wali-Nya di antara makhluk-Nya, maka jangan meremehkan siapa pun dari
hamba-hamba-Nya, mungkan ia adalah wali-Nya.” (lihat Al-Fushul al-‘Ilmiyyah wal
Ushul al-Hikamiyyah, Dar Al-Hawi, Cet. II, 1998, hal. 153).
Dari kutipan di atas dapat diuraikan hal-hal sebagai berikut:
Pertama, Allah menyembunyikan ridha-Nya dalam amal ketaatan
kepada-Nya. Perintah-perintah Allah
banyak sekali jumlahnya. Dari yang banyak itu mungkin banyak pula yang telah
kita laksanakan. Tetapi kita tidak tahu dari amal-amal ketaatan itu manakah
yang mendapatkan ridha dari Allah subhau wata’ala karena Allah memang tidak
memperlihatkan ridha-Nya atas amal-amal itu kepada hamba-hamba-Nya.
Hal tersebut dimaksudkan agar hamba-hamba Allah tidak mudah merasa
puas, lalu menyia-nyiakan kesempatan melakukan amal-amal kebaikan lainnya. Oleh
karena itu, kita tidak boleh meremehkan suatu amal kebaikan baik yang berat maupun
yang ringan, baik yang populer di mata masyarakat maupun yang tidak populer
setiap kali ada kesempatan untuk melakukannya. Jangan-jangan Allah justru
memberikan ridha-Nya atas amal yang kebanyakan orang menganggapnya remeh temeh.
Dalam kaitan ini ada kisah yang sangat penting untuk menjadi rujukan
berupa sebuah kisah mimpi yang sangat menarik, yakni kisah tentang bagaimana
Imam al-Ghazali bisa masuk surga karena kebaikan yang sepele. Kisah itu sebagai
berikut:
رُؤيَ
الغَزَالِيُّ فِى النَّوْمِ فَقِيْلَ لَهُ: مَا فَعَلَ اللهُ بِكَ؟، فَقَالَ
أَوْقَفَنِي بَيْنَ يَدَيْهِ، وَقَالَ لِي: بِمَ قَدَّمْتَ عَلَيَّ؟، فَصَرْتُ
أذْكُرُ أَعْمَالِيْ، فَقَالَ: لِمَ أَقْبَلُهَا، وَإِنَّمَا قَبِلْتُ مِنْكَ
ذَاتَ يَوْمٍ نَزَلَتْ ذُبَابَةٌ عَلَى مِدَادِ
قَلَمِكَ لِتَشْرَبَ مِنْهُ وَأَنْتَ تَكْتُبُ فَتَرَكْتَ اْلكِتَابَةَ
حَتَّى أَخَذَتْ حَظَّهَا رَحْمَةً بِهَا، ثُمَّ قَالَ تَعَالَى: اَمْضُوْا
بِعَبْدِيْ إِلَى اْلجَنَّةِ.
Artinya: Dalam mimpi itu Imam al-Ghazali ditanya seseorang, “Bagaimana
perlakukan Allah terhadap engkau? Beliau menjawab, “Allah SWT membawaku ke
hadapan-Nya, lalu Allah berfirman kepadaku, “Lantaran apa Aku membawamu ke
sisi-Ku? Aku pun menyebutkan berbagai perbuatanku. Dia berfirman, “Kami tidak
menerimanya, sesungguhnya yang Kami terima darimu adalah pada suatu hari ada
seekor lalat hinggap pada wadah tintamu untuk meminumnya, padahal kamu sedang
menulis, lalu kamu menghentikan tulisanmu hingga seekor lalat itu itu selesai
meminumnya, kamu lakukan hal itu karena kasihan terhadap lalat tersebut. Kemudian
Allah memerintahkan, “Bawalah hamba-Ku ini ke surga.” (lihat Muhammad Nawawi
bin Umar al-Jawi, Nashaihul ‘Ibad [Surabaya: Nurul Huda, tanpa tahun], hal.
3).
Jadi kisah di atas menceritakan bahwa Hujjatul Islam Imam al-Ghazali
masuk surga bukan karena kitab-kitab yang beliau tulis dalam jumlah sangat
banyak, tetapi karena membiarkan seekor lalat masuk ke wadah tinta yang beliau
gunakan untuk menulis kitab. Lalat itu bermaksud minum karena haus hingga ia
puas dan terbang meninggalkan Imam al-Ghazali.
Kedua, Allah menyembunyikan murka-Nya atas perbuatan maksiat yang
dilakukan hamba-Nya dan bukannya langsung memberikan hukuman atau azab atas
kemaksiatan itu. Setiap kemaksiatan menimbulkan murka Allah kepada pelakunya,
namun Allah tidak memperlihatkan murka-Nya yang dapat dirasakan langsung oleh
pelakunya. Oleh karena itu hendaknya
kita tidak mengganggap enteng atas kemaksiatan yang telah kita lakukan betapa
pun kecilnya sebab bisa jadi Allah telah sangat murka atas kemaksiatan itu. Hal
ini maksudnya agar kita tidak meremehkannya. Apalagi kemaksiatan itu kemudian
diikuti dengan kemaksiatan-kemaksiatan lain yang justru menambah murka Allah
subhanhu wa ta’ala.
Intinya adalah setiap kemaksiatan harus menjadi perhatian kita karena
bisa jadi Allah sangat marah atas kemaksiatan itu. Oleh karena itu kita
dianjurkan untuk banyak-banyak memohon ampun dengan memperbanyak istighfar agar
Allah mengampuni dosa-dosa yang telah kita perbuat, diikuti dengan penyesalan
dan bertobat. Jamaah Jumat
hafidhakumullah,
Ketiga, Allah menyembunyikan para wali-Nya di antara makhluk-Nya. Hal
ini dimaksudkan agar kita tidak meremehkan siapa pun dari hamba-hamba-Nya
karena mungkin ia adalah waliyullah. Dengan kata lain kita sesungguhnya tidak
perlu mengorek-ngorek apakah seseorang adalah waliyullah atau bukan terutama
jika upaya ini hanya akan membuat kita meremehkan orang itu setelah kita
meyakini bahwa ia bukan seorang wali.
Justru seharusnya ketika Allah sengaja merahasiakan para wali-Nya dari
hamba-hamba-Nya, maka kita sebaiknya memiliki keyakinan bahwa setiap orang
sebaiknya kita hormati sebab mereka memang pantas dihormati karena
kemanusiaannya. Allah sendiri memuliakan mereka sebagaimana disebutkan di dalam
Al-Qur’an sebagai berikut:
وَلَقَدْ
كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ
مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا
Artinya: “Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam, dan Kami
angkut mereka di darat dan di laut, dan Kami beri mereka rejeki dari yang
baik-baik, dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan,
dengan kelebihan yang sempurna.” (QS. Al-Isra’: 70)
Selain itu, agar kita tidak gampang meremehkan orang lain dan justru
terdorong untuk menghormatinya, kita perlu meyakini bahwa setiap orang memiliki
kelebihan masing-masing. Cara ini lebih menjamin keselamatan kita dari
meremehkan orang lain. Sebuah pepatah
bahasa Arab menyatakan:
لَا تَحْتَقِرْ
مَنْ دُوْنَكَ لِكُلِّ شَيْئٍ مَزِيَّةٌ.
Artinya: “Janganlah engkau meremehkan orang lain sebab segala sesuatu
(atau setiap orang) memiliki kelebihannya sendiri (yang kita mungkin tidak
memilikinya). Pepatah tersebut sejalan
dengan firman Allah subhanahu wata'ala di dalam Al-Qur’an sebagai berikut:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آَمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا
مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang
laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu
lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan
kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik.” (QS. Al Hujurat:
11)
Sekali lagi, Allah sengaja merahasiakan tiga perkara dalam tiga perkara
sebagaimana disebutkan di atas agar manusia bersikap hati-hati dan berbuat adil
baik terhadap dirinya sendiri maupun orang lain. Kesemua ini tidak lain adalah
demi kebaikan kita masing-masing baik di dunia maupun akhirat.